Sabtu, 22 Maret 2014

Akibat Lupa

Ada satu hal yang kulupa saat ini.
Entah itu hal apa, aku benar-benar lupa.
Tapi aku terus mencoba mengingatnya hingga kepalaku terasa sakit.
Ah, aku benar-benar lupa.

Sebentar.

Tidakkah kau rasa indah saat kau jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Lalu kau merasakan pedih untuk kali pertama saat pengakuanmu tidak diterima.

Sepertinya, yang aku lupa adalah kedua hal itu.

Sebab, luka sibuk menyembuhkan tubuhnya.
Sebab, malam tak lebih dari  perihal bunyi rengekan rindu, atau lirih nikmat orang yang sedang bersenggama.
Sebab, senja selalu tentang indahnya pemandangan cakrawala.
Sebab, penyair kadang lupa bahwa sajaknya menginginkan makna.
Sebab, entahlah setiap sebab pasti ada akibatnya.

Sebab..., sudahlah, sepertinya aku benar-benar lupa ingin mengingat apa.

Bibir yang Baru Pertama Kali Mencium

Aku sedang mengikat kata setia pada nadi jantungku sesaat setelah kamu memberi jawaban yang membahagiakan hatiku, sepaket dengan kecupan manis yang mendarat di bibirku yang sesudah itu malah sibuk mencatat sejarah.

Aku tidak ingat kali keberapa aku jatuh cinta pada seorang gadis. Terakhir kali yang kuingat hanyalah rasa perih penghianatan, cinta tak berbalas, atau puisi-puisi yang kehilangan maknanya, lalu berakhir mati bunuh diri.

Aku belum pernah merasakan ciuman yang begitu lembut di bibirku. Bibir ini masih terlalu polos untuk merasakan bagian-bagian kecil cinta yang terasa nyata.

"Aku mencintaimu."

Cup.

"Aku pun begitu, untungnya tidak terlambat."

Cup.

Bangku bioskop yang disesaki berpuluh-puluh pantat pura-pura tidak melihat tindakan kami barusan. Dan film yang sedang menampilkan adegan ciuman pun tidak lagi berarti, sementara fokus kami terisi penuh pada satu bibir yang masih penasaran untuk memperagakan adegan yang sama.

"Manis sekali," kata bibirku girang. Kini dia membuat sebuah janji untuk tidak lagi menyematkan berbatang-batang nikotin atau sekrat bir yang terasa sepat ketika patah hati.

***

Tolong Katakan Sekali Lagi

Aku sedang bercakap-cakap dengan kenangan di ruang tamu sambil menikmati hujan dan secangkir kopi hitam yang asapnya mengepul berlebihan. Tanpa sadar aku tenggelam memandang diorama percakapan antara aku dan kamu yang sudah lalu. Kenangan hanya tersenyum datar tanpa arti melihat wajahku yang sangat serius.

"Tolong katakan sekali lagi, ciuman itu milik siapa?" Saat itu aku bertanya padamu yang hanya tertunduk menatap baju kesayanganmu, baju yang kuhadiahi pada ulang tahunmu. Di kerahnya ada bekas bibir seseorang --atau lebih tepatnya anjing, 'Setan mana yang berani menyentuh bibir kekasihku?'.

"Tolong katakan sekali lagi, ciuman itu milik siapa?" Aku mulai kehilangan kesabaran.

PLAK! Sebuah tamparan melayang di udara

Wajahmu memerah, tangismu berteriak lantang.

"Tolong katakan sekali lagi, ciuman itu milik siapa?" Kali ini aku mengatakannya dengan nada sedikit lebih tenang.

"Milik...-"

"Siapa?"

"Milikmu."

"Tolong katakan sekali lagi," ucapku frustrasi sambil mendongakkan kepalaku ke atas.

Kemudian kamu berjalan tergopoh-gopoh dengan sisa kekuatan yang habis terburai karena mencari alasan yang tepat. Sejurus kemudian bibirmu sudah berjarak sesenti di hadapan telingaku.

"Ciuman itu milikmu, sebelum kamu kehilangan pendengaranmu."

***

Maaf!

"Maaf!"

"Maaf!"

"Maaf!"

Tiga kali kata itu terucap dari mulut seseorang yang mengetuk pikiranku dari dalam.

"Kenapa?" tanyaku kepada sang pemilik suara, yang sedang kutebak dia siapa.

"Aku ingin meminta maaf."

"Untuk apa?"

"Untuk kesalahanku, karena dulu aku telah meninggalkanmu."

"Oh, tak apa, tak meminta maaf pun pasti aku maafkan."

"Sungguh?"

"Ya, sungguh. Tapi aku juga sebenarnya ingin meminta maaf padamu."

"Untuk apa?"

"Untuk pilihanku, karena sekarang aku ingin meninggalkanmu."

***

Jumat, 21 Maret 2014

Tentang Sebuah Janji

tumblr_mxrkwwok2n1smm19oo1_500

sumber

Jarum jam tangan Kirana telah menunjukkan pukul 21.15. Sedari tadi jemarinya mengetuk meja besi berwarna abu-abu milik super market berlogo angka tujuh yang sering dijadikan tempat nongkrong anak muda. Sesekali Kirana menengok ke arah parkiran yang berada di sebelah kiri dan berjarak sekitar dua puluh meter dari tempat dia duduk. Dia sedang menunggu pacarnya.

Kamis, 20 Maret 2014

Cappuccino Berinisial

Cappuccino

sumber

Aku sedang duduk menghadap jendela di sebuah kafe yang sedang diguyur hujan sambil menikmati alunan lagu Coldplay yang judulnya paling terkenal, Fix You. Sebentar, aku sedang mengingat-ingat apa yang sedang kupikirkan sekarang. Oh iya, tentang seorang gadis yang menyukai hujan. Gadis manis yang pernah membuatku jatuh cinta lewat percakapan hangatnya beberapa waktu lalu, tetapi belum cinta itu bersambut --maksudku bertemu-- tiba-tiba dia pergi dengan seseorang yang kukenal dengan baik.

Di hadapanku kini secangkir cappuccino manis tergeletak tak berdaya, art busanya tertulis dengan jelas inisial seseorang, ya gadis itu. Kupastikan barista kafe ini masih mengingat pesananku dulu, bodohnya kali ini aku lupa mengingatkannya untuk tidak lagi melakukan hal ini. Tapi biarlah, kucatat barista itu sebagai pengingat yang baik.

Gadis itu...--

Senin, 10 Maret 2014

Seorang Pelupa

Seorang pelupa adalah pengingat yang baik.

Seorang pelupa selalu mengingat siapa satu-satunya orang yang dia cintai dan mencintai dia, walaupun dia adalah seorang pelupa. Dia selalu ingat menyebut nama kamu dalam pikirannya sesibuk apapun hingga dia lupa kesibukannya. Setiap kali dia sendirian dan dia lupa bahwa dia sedang berkumpul dengan teman-temannya. Setiap kali dia menikmati secangkir kopi yang dia lupa tambahkan gula. Setiap kali dia sedang menulis sesuatu yang dia lupa. Setiap kali dia merebahkan kepalanya di atas bantal yang dia lupa diletakkan di mana, sesaat sebelum dia memutuskan membaca doa tidur, dan tidak lupa, dia ingin memimpikanmu.

Seorang pelupa jarang mengungkit kesalahan-kesalahan yang pernah kamu buat. Dia selalu berusaha keras mengingat kebaikan-kebaikan apa yang pernah kamu lakukan untuknya, sekecil apapun. Dia melupakan dendam. Dan jika dia tidak lupa, dia membuat hal manis yang tidak pernah kamu ketahui, entah apapun itu, dia mungkin sudah lupa.

Seorang pelupa kadang lupa waktu-waktu yang menurutmu penting dan bersejarah. Dia jarang menghitung sudah berapa lama dia bersama kamu, karena dia selalu lupa belajar matematika. Tapi percayalah, seorang pelupa tidak pernah lupa waktu pertama kali dia jatuh cinta padamu. Waktu pertama kali kamu memutuskan untuk bersamanya. Waktu kamu tidak sadar tertidur di dalam peluknya. Waktu dia menghapus air matamu saat kamu lupa menepati janji, dan dia memaafkanmu sebelum kamu meminta maaf. Waktu dia berusaha tetap tersenyum menghadapi kamu yang sedang lupa dalam keadaan marah. Waktu kamu menyuruhnya untuk melupakannya untuk selama-lamanya. Dia akan mengingatnya, selalu, dalam diam, dia tidak akan pernah lupa, karena dia mencintaimu.

Seorang pelupa akan selalu ingat hal apapun yang mungkin telah lama kamu lupakan.

Seorang pelupa tidak pernah lupa untuk mendoakan kebahagiaanmu.

Pernahkah kamu dicintai oleh seorang pelupa?

Dan sialnya, aku lupa, aku adalah seorang pelupa.

Kamis, 06 Maret 2014

Seandainya.

Jarak.

Sebuah perkara untuk sebagian orang yang mencintai seseorang yang letaknya jauh di sana. Beratus kilometer, beribu meter, atau entah berapa satuan inci untuk mengukur dan menentukan seberapa jauh letak dua tempat yang berbeda.

Kali ini aku sedang risau, entah, rasa risau yang menggelayuti hatiku kini sedang sering sekali berkunjung. Aku tidak pernah tau apa maksud dan alasan rasa ini berkunjung dan singgah, padahal aku tidak pernah mengizinkan mereka untuk datang. Tidak pernah.

Yang kutahu adalah, rasa risau itu muncul tiba-tiba ketika aku memikirkanmu. Maaf, mungkin aku terbaca seperti orang yang lancang, tetapi memang begitu adanya. Maafkan aku yang seringkali diam-diam menyebut nama panjangmu. Semua itu terjadi begitu saja ketika potret wajah dan senyummu itu hadir di pikiranku, dalam waktu yang tak pernah bisa kutebak.

Bukankah keinginan hati tidak pernah bisa ditebak? Hari ini maunya ini, esok hari maunya berbeda lagi. Betapapun aku mencoba mengerti keinginan hati, aku tidak pernah bisa berhasil. Sama halnya seperti kau mempelajari ribuan kali materi pelajaran yang tidak pernah bisa masuk kepala.

Sebenarnya aku juga tidak mengerti aku ini sedang menulis apa. Dalam beberapa paragraf sebelumnya yang kujelaskan adalah risau. Ya, memang, aku sedang risau. Merisaukan jarak tepatnya.

Seandainya saja jarak antara aku dan kamu tidak terlalu jauh untuk kutempuh. Mungkin aku akan sesering mungkin mengunjungimu di rumah, di kampusmu setiap kali jam istirahat dan pulang. Mengantarmu ke tempat yang kau mau, membaca buku bersama, tertawa dan saling berdebat tentang suatu, diam-diam memperhatikan ketika salah satu dari kita sedang terfokus melihat sebuah objek.

Aku ingin sekali mengusap rambutmu pelan hingga kau mengeluarkan sifat manjamu, memelukmu agar kau merasa nyaman dan yakin bahwa kau aman. Mengecup keningmu pelan, dan diam-diam meletakkan bunga mawar di beberapa tempat di rumahmu hingga ibumu bertanya, "Ini bunga dari siapa?", lalu kau diintrogasi layaknya seorang anak kecil yang ketahuan mencuri permen. Ya meskipun kau memang pencuri, pencuri hatiku tepatnya.

Seandainya saja, ya, seandainya saja.

Sayangnya itu hanya mimpiku saja, dan memang hanya sekedar mimpi. Pada awalnya aku sempat berharap dan ingin bergerak. Tetapi segera kuurungkan niat itu. Bukan, bukan karena aku tidak mau memperjuangkanmu atau tidak berani melakukan hal serupa seperti orang lain lakukan pada seorang yang dicintainya yang nun jauh di sana.

Betapapun aku ingin mencoba, selalu saja aku takut menyakitimu nantinya, meskipun belum pernah sekalipun aku menyentuhmu secara langsung. Hanya dengan beberapa deret kata yang menjadi kalimat sempurna di dalam obrolan kita lewat sinyal digital yang menyambungkan isi kepala kita mengenai hak yang kita bahas. Selalu takut kau akan menangis oleh siapapun itu, apalagi jika itu karena aku.

Selama ini aku hanya memendam semua rasa yang sudah menjadi bunga. Sejak pertama kali benih rasa tertanam di permukaan hati, lalu kau membuatnya subur dengan menyiramnya lewat tutur bahasa dan suara lembutmu. Aku menikmatinya sambil melihat dalam-dalam sorot mata dan senyum potret wajahmu. Aku menyayangimu, ya.

Setidaknya, meskipun aku tidak pernah mencoba untuk membuka pintu hatimu, aku selalu mencoba menjagamu dari kejauhan. Lewat telapak tangan dan getar suara samar yang diam-diam membisikkan pelan namamu.

Seandainya bukan karena jarak, seandainya.

Senin, 24 Februari 2014

5 Tahap Patah Hati

Di umur gue yang sekarang menginjak kepala dua, kalo diingat-ingat terakhir kali gue patah hati itu kira-kira ya tiga windu yang lalu. Saat itu pertama kalinya gue patah hati karena gue kelamaan bilang ke cewek yang gue sayang, bahwa gue selama ini sayang sama dia. Oke, curhat kan tuh jadinya.

Patah hati menurut gue adalah suatu fase di mana kita merasakan kondisi hati kita terasa sakit banget karena suatu hal. Misalnya karena kita kehilangan seseorang yang kita cintai, kehilangan sesuatu yang sangat berharga, atau kehilangan-kehilangan lainnya. Setiap orang punya definisi atau deskripsi tersendiri tentang patah hati.

Yang sering terjadi di dalam kehidupan ini adalah kita kehilangan seseorang yang kita cintai. Tanpa dibayangkan pun rasanya kita udah tau rasa sakitnya seperti apa. Kayak digigit bayi, tapi giginya taring semua, udah gitu gak pernah gosok gigi. Dan kita nggak pengin 'kan merasakan hal itu?

Senin, 17 Februari 2014

Salah Orang

"Kenapa kamu kembali lagi?"

"Maaf, ternyata aku selama ini salah mencintai orang."

"Lalu, apa maksudmu?"

"Aku mau kita mengulang lagi dari awal."

"..., kenapa?"

"Karena aku menyadari kalo kamu nggak seperti yang aku pikirkan, kamu jauh lebih baik dari dia. Dan aku menyesal telah melakukan ini."

"..."

"Kamu mau kan?"

"Maaf, ternyata aku selama ini salah mencintai orang."

***