Jumat, 14 Februari 2014

Mawar Terakhir Dari Seorang Bapak Tua

bunga-mawar-merah

Aku sedang duduk di sebuah kedai menikmati kopi hitam yang baru saja diantar sang barista.
Rasanya pahit bercampur sedikit manis, seperti janji yang mengendap basi.
Jalanan di luar basah oleh semesta yang sedang berurai air mata.
Ia menjadi cengeng setelah mendongeng tentang kekelaman sebuah ilusi.

Dari arah trotoar jalan, seorang bapak tua jalan menundukkan kepala.
Matanya yang sendu berhadapan pada seikat bunga mawar merah ditangannya.
Tak ada yang berminat membelinya, kemudian Ia menghampiriku dan bilang bahwa itu satu-satunya yang ia punya untuk malam ini.

"Nak, kau belikan saja secangkir kopi hitam untuk memiliki mawar ini," ucap si bapak tua.
Aku termenung mendengar permintaan si bapak yang sinar wajahnya temaram.
Lalu aku bertanya dengan ekspresi wajah penasaran. "Kenapa kau jual mawar cantik ini demi secangkir kopi, Pak?"
Si bapak tua duduk di kursi dengan sopan dan membuka mulutnya untuk berbicara.

"Mawar itu bunga terakhir yang tumbuh di makam hati istriku, kutukar dengan kopi untuk amin menyala di matamu," ujar si bapak tua yang kemudian berubah menjadi doa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar