Selasa, 31 Desember 2013

Beberapa Pertanyaan di Sebuah Kedai.

a man

sumber

Merindukan seseorang itu wajar, kan?

Saat menulis ini aku sedang duduk sendirian di sebuah kedai kopi di daerah Kelapa Dua, Depok. Kedai yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Ada tujuh meja berwarna merah marun yang tersedia di sini, dan dipasangkan dengan empat bangku hitam di tiap sisinya. Ada delapan orang yang sedang menikmati minuman dan obrolan hangat mengenai rencana esok hari, lima laki-laki dan tiga perempuan. Aku rasa kau sudah tahu, malam ini adalah malam pergantian tahun. Malam di mana orang berkumpul bersama keluarga, kerabat, orang-orang tersayang, atau dengan kesendirian. Aku? Aku sedang berkumpul bersama pilihan terakhir yang kusebutkan barusan. Tolong jangan tanyakan alasannya kenapa.

Aku sedang menunggu pesananku datang; segelas teh tarik dingin dan chicken steak. Sambil menunggu pesananku disediakan, aku menyalakan laptop untuk menulis cerita ini, dan mematikan telepon genggamku, sekedar memastikan konsentrasiku tidak terganggu oleh pesan yang masuk untuk menyelesaikan tulisan ini.

Rabu, 25 Desember 2013

Percakapan Mengenai Seorang Gadis


image

"Gimana? Udah dapet?"

Hening. Gue terdiam sejenak dan berpikir kalimat apa yang harus gue keluarkan untuk menjawab pertanyaan ini.

"WOI! Lo ditanya malah diem aja!" Yoga langsung gebrak meja yang misahin tempat di mana kami duduk.

"Udah sih, tapi cuma nama. Santai lah," jawab gue pelan dan memperhatikan keadaan sekitar yang cukup ramai. Masih ada sekitar lima belas orang yang duduk menikmati suasana malam sambil mengobrol dan menikmati minuman hangat di kafe daerah Depok ini.

"HAH? Nama?! Yang bener aja, Fal, udah dua minggu lo masih stuck di situ aja?” Yoga menggelengkan kepalanya kemudian nyalain rokok yang sedari tadi dia pilin di antara jemari tangan kanannya.

Gue menunduk, alasan apa lagi yang harus gue jelasin? Sobat gue yang satu ini emang pendengar yang baik, tapi dia paling males kalo dengerin alasan yang berbelit-belit.

"Iya, abisnya…, ya gitu deh, Ga. Gue takut," ucap gue sambil ngegaruk kepala yang sebenarnya gak terasa gatal. Gue memperhatikan sebatang rokok Sampoerna Mild yang terhimpit di antara sela asbak yang masih bersih.

Yoga menghisap rokoknya dengan mata terpejam, seakan-akan dia sangat menikmati asap yang masuk ke paru-parunya. Kemudian Yoga  menghembuskan kepulan gumpalan racun tersebut dengan satu hela napas panjang yang membentuk garis putih lurus, “Elo tuh dari dulu gak berubah, Fal,” ucap Yoga sambil mematikan rokok yang masih tersisa setengah, “Kalo lo emang punya nyali, buktiin! Ajak dia kenalan dan jalan. Itu baru cowok!”

Dahi gue mengerut seketika pas ngedenger ucapan dia. Apalagi saat inget kejadian beberapa waktu lalu.

"Wih manis banget senyumnya nih cewek!" ucap gue spontan, gue langsung zoom avatar-nya dan ngubek-ngubek galeri foto dan video Twitter-nya. Gue liat tweet dia dari yang paling baru sampai dua bulan yang lalu, kemudian gue liat bergantian barisan-barisan foto yang berbentuk slide, kedua mata gue menyipit memperhatikan dengan jeli senyum gadis itu.

Manis. Satu kata yang mengerubungi otak gue.

Selang beberapa lama kemudian, gue memperhatikan pergerakannya di Twitter. Gak ada terlihat tweet-nya dia yang menunjukkan kalo dia udah punya pacar atau lagi deket sama cowok. Gue mulai optimis untuk deketin gadis itu.

Tapi…

Puisi Tentang Seorang Pria yang Menyedihkan



Ini puisi tentang seorang pria yang menyedihkan.
Ia sangat gemar berjudi harapan.
Ini puisi tentang seorang pria yang menyedihkan.
Ia rajin memintal doa dengan padat pengharapan.
Ini puisi tentang seorang pria yang menyedihkan.
Ia mencintai seorang gadis dengan diam-diam.

Ia bukan penyair, ia juga bukan penyihir, ia hanya pecinta yang gagal memperjuangkan cintanya.

Ia pria yang terlalu mahir mengubur rasa, membilas air mata, dan menghibur rindu yang tak pernah sabar.

Gadis yang ia cintai cantik, bulu matanya lentik, wajahnya sangat antik meski tanpa diberkati kosmetik, seperti langit pagi yang ranum.

Pria menyedihkan itu mempunyai kenangan manis; ketika ia dipertemukan dengan gadis itu oleh semesta. Waktu itu senja di taman kota, ia sedang membidik langit jingga dengan lensa kamera.

Tanpa sengaja ia menemukan sebuah senyum yang indahnya luar biasa di bibir seorang gadis, gadis yang ia cintai itu. Gadisnya sedang tersenyum melihat kekasihnya menyanyikan lagu cinta.

Pria itu tersenyum dari kejauhan dan membayangkan gadis itu melihatnya, tapi itu tidak pernah terjadi. Lalu ia melangkah pergi.

Semenjak kejadian itu, Ia menikmati patah hatinya dengan selalu berdoa dan berkata, “semoga gadis itu selalu bahagia.” Ia diperbincangkan oleh semesta, kata doa, “Ia akrab sekali dengan sejadah, seperti sahabat lama.”

Terakhir kudengar kabar dari bulan purnama, pria menyedihkan itu tersenyum lalu mengabadikan cintanya kepada gadis itu lewat puisi ini.

Sudah kubilang, kan? ini puisi tentang seorang pria yang menyedihkan.

Ia bukan penyair, ia juga bukan penyihir, ia hanya pecinta yang gagal memperjuangkan cintanya.

Akhirnya, ia berhenti sebelum memulai, ia memang seorang pria yang menyedihkan. Kurasa ia bukan pecundang, melainkan seorang pendoa yang sahih.

Mimpi Di Siang Hari



Peluh merebak di sekujur tubuhku yang titi.
Inang-inang rasa mendadak curiga setengah mati.
Pelakunya tak terlihat sebab terjadi pada pukul satu dini hari.


Tapi belakangan ini kuketahui, huruf-huruf puisiku sekarat.

Mungkin ini sebab aku teramat tamak perihal cinta yang kutanak.
Sedangkan, cinta bilang ingin terbang bebas seperti burung gereja.Aku hanya takut cinta patah sayapnya, oleh ekspetasi yang terlalu tinggi.
Atas ego-ego yang nantinya menyebalkan serupa bajingan pasar.

Betapapun aku kencang berlari.
Kakiku akan serangkut dan pincang akibat tubuhmu yang resi.
Menyumpahimu ibarat membunuh diri sendiri.
Menebar ancaman karma yang memenuhi rema.

Senyummu keparat, kerling matamu bangsat.Sebab cinta mendarat pada bibir dan matamu yang kuanggap laknat.
Alih-alih ingin melupakan justru semakit kuingat.
Melumuri lumeran daki air mata bekas hantaman caci
Mengkukuri isi kepalaku yang tak pernah kucuci.

Kau tanggalkan pakaianmu, kau tinggalkan  semu.
Kau senggamai aku dengan derasnya ombak cinta dengan sempurna.
Goyangan-goyangan maut sampai membuat napasku tersedak.
Hingga ibu membangunkanku dengan mencubit pantatku berkali-kali.

Sungguh, tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Ini hanya mimpi di siang hari.




Bulir Desember

Kupautkan langkah dengan tergesa-gesa, aku sedang dikejar air mata bulan Desember.
Bulir-bulirnya meninju kepalaku yang isinya hanya kenangan tragis.
Sekali lagi aku melangkah, semakin kencang kudengar Desember menangis.
Petir bersahut-sahutan melolong, mengagetkan tukang jamu dengan bengis, segelas intirsari tumpah dengan cara yang manis.

"Aku sebenarnya melankolis," kata Desember kepada embun yang bertengger di bangunan tua, "ceria hanyalah topeng luguku saja." Lanjutnya sambil meringkuk di pojok rumahnya; kalender lecek.

Ia menanak cemas karena menjadi tahanan waktu, ia hampir mampus tergerus, sebab bagian tubuhnya satu persatu disobek harapan manusia yang tampangnya selalu merengus malayuri harapan yang tak tembus-tembus.

Aku prihatin menengok dirinya di kalender yang tahun depan menjadi adonan terompet tahun baru. Kuperhatikan jejeran sisa hari bulan Desember, aku menyentuh angka tiga puluh satu, tiba-tiba Desember menangis kencang, ia berkata, “Semoga tahun depan aku tidak secengeng ini.”

Sebuah Percakapan Mengenai Jarak

image

Banyak yang takut kalah dengan jarak, dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Ponsel gue bergetar. Ada panggilan masuk. Saat gue liat nama sang penelpon senyum gue mengembang dengan penuh sukacita.

"Halo, tumben kamu nelpon aku jam segini. Kangen ya? Hehehe." Gue langsung  nyerocos kepada lawan bicara dengan semringah.

"Jangan ditanya! Kangen bangeeeet lah sama kamu. Udah empat bulan kita belum ketemu lagi," ucap seorang gadis di seberang sana. Gue kangen banget sama suaranya. Karena cuma dalam waktu tertentu gue bisa ngobrol panjang lebar sama dia. Dan panggilan dari dia kali ini benar-benar nggak gue duga.

"Iya, udah empat bulan. Kamu gimana kabarnya? Masih sibuk banget ya? Sampai baru telepon aku lagi sebulan terakhir ini."

"Aku baik-baik kok. Kamu juga kan? Ah kamu mah pasti masih sering begadang deh. Sebel," gerutunya. Gue demen nih kalo udah begini, ngebayangin dia cemberut. Ngebayangin pipinya yang tembem itu mengembang. Kalo dekat pasti gue gue cubit.

Tiba-tiba hening sebentar.

Berakhir Sebelum Dimulai


image

Gue baru aja mengakhiri sesuatu yang belum dimulai.

Hari Jum’at yang panas, perut yang belum terisi, dan ada hal yang sedang mengusik pikiran gue. Ya, seperti biasa, penyakit menahun gue yang selalu takut untuk jujur ngungkapin perasaan sering kumat, tapi kali ini berbeda. Gue udah belajar berani minimal untuk diri sendiri.

Suatu ketika, gue kenal sama seorang cewek namanya, sebut aja Bunga. Gue kenalan sama dia ketika gue dapet kerjaan ngeliput event anak UI di daerah Kuningan, Jaksel. Anaknya asik, senyumnya manis (iya senyumnya), dan satu yang gue tertarik dari dia. Nada bicaranya dia yang malu-malu dan pipinya lucu, bikin gue pengin nyubit dia terus.

Awalnya, gue gak mengira perhatian gue bisa teralih jadi merhatiin dia. Selama acara, kosentrasi gue jadi kebelah dua. Antara nyimak sambil foto-foto acara dan ngeliatin dia terus. Dan dianya? Entah, feeling gue mengatakan bahwa dia juga ngeliatin gue sesekali. Gue gak mau ngerasa gede rasa.

Rasa Takut yang Mencuat

Rasa takut yang mengingatkan kalo semua itu akan berakhir di suatu hari.

Gue bangun dari tidur dan leyeh-leyeh sebentar. Setelah kesadaran dan otak gue udah mulai singkron, gue bergegas memulai aktivitas hari ini dan mengawalinya dengan mandi lalu berangkat kuliah tepat jam 07.12 WIB.

Gue menaiki si Aoi, motor belalang berwarna biru kesayangan gue yang selalu lebih setia dari siapa pun untuk nemenin gue pergi. Gue menancapkan gas dari rumah gue dan berhenti di lampu merah perempatan jalan Margonda - Juanda, gue matiin mesin motor gue karena gue liat detik waktu yang tertera di lampu merah masih menunjukkan detik 127. Masih sekitar dua menit untuk berganti jadi lampu hijau.

Gue buka kaca helm dan memperhatikan keadaan sekeliling gue sebentar. Udah mulai ramai. Di samping kanan ada bapak-bapak menunggangi motor Scorpio warna coklat dengan helm hitam full face, wajahnya terlihat masih ngantuk. Gue meluruskan pandangan ke depan, tetapi gue memperhatikan bapak-bapak itu dengan ekor mata, bapak ini tinggi gede orangnya. Kayaknya mau berangkat kerja.

Gue liat lagi di sebelah kiri gue, ada mas-mas boncengan sama cewek pake motor mio velg 17 knalpot racing. Cewek yang diboncenginnya adem ayem aja, tapi tampang si mas-nya kayak lagi menyimpan masalah. (Jangan suruh gue deskripsiin tampangnya, bayangin aja mas-mas Jawa gitu lagi bengong.)

Pas gue lagi bengong sebentar dan merhatiin garis-garis zebra cross, tiba-tiba ada satu pertanyaan klise yang melipir di pikiran gue.

Sepasang Bibir Terbenam

"Cup, cup, cup…", terdengar beberapa kali suara kecupan.
Asalnya dari kedua bibir yang sedang membungkam lidah jarak.
Mereka terlalu terlalu lekat, tiada lagi sekat, mereka bebas.
Udara di ruangan itu canggung, mencuri-curi pandang dari dekat.

Irama mereka mengacak, berisik, tetapi tak mengusik.
Mereka hanya mengisi cinta di dada masing-masing.
Tak perlu mencibir mereka yang bising, biarkan saja. Nikmati saja.
Biarkan mereka menikmati sementara tanpa harus pusing.

"Cup, cup, sabar lah sayang," kata dari salah satu bibir yang manyun, "hari ini, hari terakhir kita berjuang," lanjutnya pelan.

TRAAAK!!!

Ada yang retak, bukan retak, tetapi pecah, lalu runtuh. Tak lama kemudian, kedua bibir itu dibanjiri air mata. Perih.

"Cup…cup…cup…." Suara terakhir kecupan itu melemah dan berhenti, seiring dengan napas yang terpejam dengan sempurna, kecupan terakhir yang meluncur di kening, dan akhirnya dikenang.

Rindu pingsan, ia terguncang.

Bibir wanitanya menangis kencang.

Tuhan telah menang.

Surat Tentang Entah



Entah, sudah berapa purnama kulewati dengan anak kecil cengeng bernama rindu.
Entah, hanya ada satu nama yang masih betah berdiam di ingatanku.
Entah, aku hanya ingin banyak berkata, “ENTAH! ENTAH! AKU SENDIRI TAK TIDAK TAU KENAPA SELALU BERKATA ENTAH!”

Siapa lagi yang menjudikan harapannya di atas sajadah dan setiap kali menyebut amin air matanya selalu pecah!

Ada yang Bilang, Cinta?



Ada yang bilang, cinta itu rendah hati, tetapi ia suka pongah


Ada yang bilang, cinta itu membahagiakan, kata siapa? Kutemui di koran ada wanita yang ingin bunuh diri ketika kekasihnya menghilang setelah ia hamil tiga bulan, dan ada seorang pria yang meminum kopi campur autan karena ia ingin hilang ingatan.

Cinta itu, tak berlogika.

Memaki



Dahulu, engkau pernah berkata bahwa akulah yang terbaik. Aku terbelalak mendengarnya, ketika melihat pohon cendana yang tak berdaya terbius polosmu saat kau menoreh nama kita. Dulu.

Kini, betapa aku mencoba berlari kencang dari tarikan gravitasi mimpi, aku tak pernah mampu sekuat apapun usahaku menebar riuh mencoba menggelakan tipuan tawa, dunia terlalu naif untuk bocah laki-laki cengeng yang merasakan patah hati untuk pertama kali. Tetapi, dia mencoba lagi, dia ketagihan, dia masih terlalu lugu untuk mencandu senggama rindu, dia belum tau rasanya memendam hasrat temu. Hingga dia kapok ketika melihat perempuannya cinta mati pada lelaki lain yang orang tuanya kaya raya.

Aku tak pernah peduli, sudah berapa kali senja kulewati, hingga terakhir kali pupil mataku melihat rona merahnya pada pipi seorang gadis yang hatiku dibuatnya jatuh cinta. Tapi, Semesta tak pernah senang manusia berbahagia terlalu lama, dia curang. Gadis itu lebih menyukai makan dengan suasana romantis ketimbang warung pinggir jalan yang berisik dengan suara pengamen genit yang menggoda janda anak dua.

Pada Suatu Malam



Pada suatu malam, ada jeritan kencang suara kehilangan. Aku terkejut, itu suara hatiku sendiri. Kedua mataku nyalang, ada yang membangunkan rindu dari tidur panjangnya. Keadaan kamarku beringsut seram, rasa kehilangan itu kembali datang, tiba-tiba, tanpa aba-aba atau pemberitahuan semuanya menjadi mencekam. Jam dinding pun hanya bungkam.

Pada suatu malam aku memeluk diriku sendiri, dengan sepasang lengan yang sedang gemetaran, gigil dingin kehilangan mulai mengikis kulitku, aku melamun sejenak, ini semua ulah nama panjang siapa?

Dalam kesunyian, aku beranjak, disela bisu hampa angin yang sekilas melintas, deru debar jantung menghentak kencang, seperti suara kendaraan dipanaskan; digeber-geber. Kesadaranku goyang mendulai hampir pingsan. Kurasa, malam sudah semakin membungkuk, mungkin dia enggan bertemu pagi, sepertinya aku mulai tak waras

Air mataku jatuh satu persatu pada tiap pijak yang setengah hati kujejak memaksa sendi-sendi kakiku yang bergerak, kecemasan semakin menyemarak, kehilangan menyalak. Kehilangan seakan seekor macan yang siap mencongkel keluar matamu, dan gemas sekali ingin membuatmu meneriakkan sumpah serapah.

Pikiranku menerawang, mencari sebab musabab semua ketiadaan. Rasanya kau terombang-ambing persepsi, seperti retorika pertanyaan yang menimpuki kepalamu tanpa henti. Kau hanyut pada bayanganmu sendiri. Sungguh, aku kelimpungan malam ini, semoga nanti pagi ada hujan tipis membasahi pekarangan taman kota dekat rumahmu, tempat rindu bunuh diri setahun lalu.

Biarkan aku tertidur di sana, di bangku kayu yang sudah reot itu, mungkin masih ada sisa-sisa hangat pantat kita dulu. Duduk berdua sambil berpandangan mata, dengan tangan menggamit jari masing-masing. Esok hari, kuziarahi makam kenangan, agar nyawanya tak menghantui bunga tidurku dengan memanggil kehilangan. Pada suatu malam.

Langit Mendung yang Cerah Kembali




Kulihat awan kelabu bergerak ke selatan



Payung-payung hitam mulai berjejer untuk berkabung
Tak ada warna selain abu-abu, hanya harapan ingin cerah
Harapan-harapan yang mulai patah.

Burung-burung bermigrasi menuju sarangnya di utara
Melindungi sayap mereka dari basah hujan kesedihan di pohon kenari
Senja tak jadi jingga, matahari enggan menerangi pada situasi ini
Langit mendung, langit berkabung.

"Kabar buruk!", teriak angin yang melarikan diri ke barat daya
Ia tak ingin terombang badai nestapa dari amuk semesta
Aku menengadah, lalu bertanya, “ini kehilangan milik siapa?”
Tak ada jawabnya, sang hampa pun enggan menujukkan wujudnya.

Bulir-bulir hujan mulai turun, saling mendahului sampai ke timur bumi
Anak-anak kecil melepas sandalnya menuju taman ketika senja tiba
Mereka menari di kecipak genangan, menghibur langit
Bumi merayu matahari untuk menerangi, agar langit menjingga.

"Ah, langit cerah kembali", kataku dalam hati sambil melihat ke atas
Awan putih menyembul di sela-sela mendung yang mulai mencerah
Harapan-harapan patah tersambung kembali
Ada yang mengucap amin dengan suara samar, entah siapa.

Seketika, langit tersenyum lagi.




Menemukanmu

Banyak sekali hal yang sedang aku pikirkan, salah satunya adalah memikirkan kamu, dan aku pun terkadang tidak mengerti jalan pikiranku sendiri. Apakah kau juga pernah merasakan hal ini?

Aku mengetik ini sambil kebingungan, bingung dengan pertanyaan diriku sendiri. Apakah kita memang sama-sama sedang mencari untuk saling menemukan? Atau setelah kita dipertemukan, kita akan dipisahkan?
Sepertinya kita hanyalah korban dari rahasia waktu, kita terlalu sering mengira-ngira akan jatuh cinta pada siapa, akan memiliki hati siapa, dan akan menitipkan hati pada sesiapa. Itu adalah urusan hati, dan hati selalu berurusan pada waktu.

Saat kau patah hati, apa yang kamu lakukan selain meyakinkan diri untuk tabah, sembuh, dan melupakan? Kembali lagi, semua adalah perihal waktu. Kenapa harus berkaitan dengan waktu? Aku selalu penasaran dengan retorika pertanyaan-pertanyaan yang nihil jawaban itu.

Tapi, mungkin jawaban paling benar adalah: ini semua masih rahasia sang waktu.

Rahasia yang membuatmu terdorong untuk selalu mencari dan menatap, menatap kemudian menitip, menitip lalu menutup. Menutup hati untuk menetap pada hati seseorang yang kamu cari untuk kamu temukan dan seseorang itu mencari untuk menemukan kamu.

Hidup ini terlalu singkat, untuk itu aku saat aku mencari dan menemukanmu, aku ingin berlama-lama denganmu untuk hidup yang singkat ini.


3 notes


Renungan Pengembalian




Pernah kau merasa begitu sepi? hingga kau terperanjat sendiri bahwa keadaan di sekitarmu sangat hampa. Bahkan udara tak bersuara.



Pikiranmu menerawang jauh menjelajahi koridor masa. Menapaki jejak curam kenangan silam bersama seseorang di lobi ingatan.

Bir dingin dan beberapa sesap nikotin akan membuatmu lebih tenang. Sesaat sebuah kabar kehilangan mampir ke liang pendengaran.

Kau hanya bisa membisu dan tak ingin berkata apapun.


Tak ada yang salah dalam perhitungan waktu, semua hanya kumpulan kata seandainya yang tertahan di ujung lidah. Kelu. Bercampur pilu.
Kau hanya bisa terpaku melihat arah jarum jam bergerak ke arah kiri. Menghipnotis jalan pikiranmu agar kau berjalan melewati selasar-selasar yang samar untuk membuka sebuah pintu. Pintu masa lalu.

Apa yang akan dan ingin kau lakukan jika diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu? Apakah kau memilih untuk kembali mengulang untuk memperbaiki semua rinci kesalahan yang tercap di nadi; yang menjadi sebab kepergian. Atau kau lebih memilih untuk menulis cerita baru dan menghapus ingatan tentang sebuah pertemuan yang berujung perpisahan tak terelakan.

Kamu takkan bisa menghindar dari waktu, ia berjarak lebih dekat dari bayangan sepatu yang kau gunakan untuk berpijak satu demi satu.

Mari, mulai detik ini kita berlomba untuk saling melupakan, dan sudah ditetapkan aku yang akan terlupakan duluan.




Senja

Biar kutebak apa yang sedang kamu pikirkan, mungkin kamu sedang memikirkan tujuanku menulis tulisan ini kan? Ya, kau tepat.

Aku ingin bercerita sedikit, aku sedang duduk di atas genteng kantor sembari menyesap kopi hitam dan menghisap beberapa batang rokok. Aktifitas rutin yang selalu aku lakukan untuk melepas penat otak yang hampir setiap harinya kukuras untuk memikirkanmu dan memikirkan setiap deretan kalimat pekerjaanku.
Apa yang kau rasakan saat melihat senja? Angin sepoinya? Atau warna langit oranye yang mirip kulit jeruk? Atau kau merasa jantungmu berdebar ketika tak sengaja pikiranmu menyenggol rak kenangan tentang seseorang di masa lalumu? Entah jangan minta aku menebak, karena menebak-nebak itu seperti berjudi, dan kau tau jika kau kalah judi? Kau akan merasa kecewa. Jika kau ingin mengajukan pertanyaan mengapa aku sangat mencintai senja. Aku akan menjawab dengan senang hati. Aku mencintai senja karena..., sederhananya, senja selalu mempunyai cerita yang tak pernah bosan untuk kutulis dan…, senja selalu setia mencumbu bola mataku dengan keindahan—yang tak dapat kujelaskan.

Aku selalu sabar menanti senja tiba, karena senja hadir tak selalu sama. Kadang keemasan kadang muram. Mungkin terbaca labil, tapi itu bukan alasan agar aku tidak menikmatinya. Kau tau? Perasaan manusia pun seperti senja dan cuaca, selalu berubah-ubah pemandangannya. Jadi bisa jadi perasaan senja dan kita itu sama.
Dan, aku punya angan-angan kecil yang ingin kulakukan bersama seseorang yang kucintai. Bersamanya menikmati salah satu keindahan semburat keemasan langit semesta itu dengan menjajakan kaki di antara butiran pasir pantai sambil bergenggaman tangan, dan dia menyandarkan kepalanya di bahuku, lalu terpejam dan bercakap-cakap dengan bahasa kalbu. Bagiku itu hal sederhana yang paling romantis.

Tak banyak yang ingin aku tulis pada kesempatan ini. Aku hanya ingin bercerita spontan sesuatu yang sedang kupikirkan.

Senja dan kamu; aku mencintai kalian berdua.

 Aku punya satu cita-cita sederhana, aku ingin menghabiskan usia bersamamu.


 

image

Monolog


image

Sssttt….


Aku harap saat kamu membaca ini, kamu tidak sedang merasa bahagia atau pun sedih, biasa-biasa saja.
Kita mulai monolog ini…



Beranjak pergi dan kembali. Setiap orang akan selalu begitu, untuk mencari dan menemukan, seperti dulu saat aku mencarimu dan kamu menemukanku. Entah itu garis takdir yang sudah ditetapkan atau memang konspirasi semesta yang mempertemukan kita dan lalu… memisahkan.

Aku selalu kagum dengan rahasia waktu, khususnya pada pukul satu dini hari saat aku mendoakanmu. Lamat-lamat pikiranku berputar memikirkan doa apa lagi yang kurapal pada Tuhan untukmu? Jika kamu selalu bahagia bersama… orang lain di luar sana.

Aku sudah lupa rasanya bermanja-manja tanpa harus merasa takut dikejar-kejar waktu yang selalu cemburu ketika aku bersamamu.Dahulu di bangku taman atau kedai kopi langgananmu, kita berseteru untuk mengarang cerita-cerita lucu, yang nantinya kau tulis di buku diarimu.

Dan, waktu tanpa sadar akan selalu menuntutmu ke depan, sekali lagi. Aku semakin penasaran dengan rahasia waktu. Itu membuatku ingin mencopot jarum jam yang selalu bergerak ke arah kanan, dan memerintahkannya untuk bergerak ke arah kiri. Agar aku bisa kembali ke masa itu lagi.
Seperti biasa malamku sederhana, tak ada perayaan yang berlebihan selain merindukanmu pulang. Aku tidak terlalu berharap lagi untuk yang kusebutkan barusan, karena bagiku merelakan adalah satu-satunya pilihan yang harus kulaksanan tanpa ada opsi lain meski itu bukan yang terbaik. Setidaknya untukmu dan kesembuhan hatiku.

Ingin rasanya sesekali aku mampir lagi ke terminal tempat biasa aku menjemputmu pukul lima pagi, udara masih terlalu tajam untuk ditabrakan pada muka bantalku. Semua menjadi segar, karena yang kuingat adalah senyummu yang lebar ketika kamu turun dari bis yang mengantarmu dari rumah ke hadapanku. Aku selalu menyukai itu.

Sebentar lagi hari ulang tahunku, kau masih ingat itu? Kado yang paling kuinginkan hanyalah senyum manismu yang sederhana, tetapi syaratnya kamu harus memandangiku sebentar dan mengingat-ingat hal bodoh yang kita lakukan bersama dulu. Ya, bernostalgia.

Menaiki bianglala, menikmati keemasan senja di atas ketinggian permukaan tanah. Berputar naik ke atas dan ke bawah, seakan gravitasi enyah. Kita bertatapan dan membiarkan sorot mata kita yang berbicara lewat bahasanya. Kemudian saat senja mulai sempurna, tanpa sadar dan aba-aba bibir kita digerakkan rindu agar bertemu untuk mencicipi manisnya cinta. Kecupan kecil yang memabukkan, rasanya aku ingin waktu menghentikan tugasnya sementara, lalu terlelap dalam pelukanmu. Sebentar saja, tolong biarkan aku menikmati kebahagiaan yang nantinya akan kukenang selamanya.

Sekian…

Aku sedang dalam perjalanan melupakanmu. Tolong, kali ini aminkan doaku, agar aku selamat sampai ke tempat di mana tak ada lagi kamu.

 

image

Sepenggal Cerita di Dalam Kafe


image

Kenapa waktu seolah berjalan lambat saat aku mencoba melupakanmu?

Seorang pria melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 16.54. Dia menghembuskan nafas berat. Rambut gondrongnya acak-acakan. Kemeja panjang berwarna hijau toska yang membungkus tubuhnya digulung selengan. Kedua bola matanya menatap berpasang-pasang remaja yang sedari tadi duduk berpapasan dengan kekasihnya.Wajah ramahnya terlihat lelah. Senyumnya pahit seperti kopi yang diabaikannya sejak 30 menit yang lalu.

Dia sepertinya ke tempat itu lagi. Ke sebuah taman yang dulu sering ia kunjungi bersama seorang gadis. Tepatnya, mantan kekasihnya satu tahun yang lalu. Satu-satunya manusia di bumi ini yang mampu membuatnya nyaman di keramaian.

“Fika apa kabar kamu di sana?” tanya pria itu dalam hati.

 

Perhatian pria itu beralih pada cairan hitam yang tergenang di gelas plastik bekas kemasan air mineral. Tatapannya kosong. Telunjuk kanannya tanpa sadar mengetuk bangku kayu yang dia duduki. Pikirannya gelisah.

Tuk… Tuk… Tuk…

Hanya Sebuah Pesan




Hanya Sebuah Pesan



Apa kabarmu malam ini? Semoga kamu sedang bermimpi indah.
Semoga kamu baik-baik saja, seperti doa yang ku pinta padaNya. Sudah sekian purnama aku tak melihat senyum dan tawa dari bibirmu, surga kecil yang biasanya mengisi hariku, yang senantiasa menawarkan bahagia tanpa diminta.

Malam ini begitu berisik, kesunyian terlalu bising, isi kepalaku hanya namamu, mungkin kenangan sedang bertamu. Aku memang pelupa, namun jika perihal tentangmu aku pengingat segala. Karena untuk mengingatmu, aku tidak perlu diingatkan. Aku masih ingat setiap detil pahatan Tuhan yang menggambar wajahmu dengan sangat begitu indah. Wajah yang membuat aku jatuh cinta seada-adanya, jatuh cinta paling bahagia.

Namun setiap awal pasti ada akhirnya dan aku sudah mengira kita tak akan bertahan lama, bukan prasangka tapi aku hanya menduga, tapi memang benar adanya. Kita hanya tertahan pada perbedaan nama Tuhan, bukan menyerah karena keadaan. Tapi, aku punya pertanyaan, bukankah Tuhan menciptakan perbedaan untuk dipersatukan, mengapa kita tidak? Apa kau bisa menjelaskan?

Dulu, kita terlalu percaya pada kekuatan kata semoga. Dipersatukan atau dipisahkan adalah hasil akhir. Kita hanya harus menjalani proses dan mempertahankan, serta meyakinkan Tuhan. Tapi, nyatanya kita kalah bahkan sebelum sempat memulai, kita memang pesimis, padahal kita hanya ingin menciptakan kisah yang manis, tapi justru malah berakhir ironis, dan membuat kita sama-sama menangis.

Kelak, kita akan menjadi dewasa melalui proses kehidupan, bersabar saat tertekan, tetap tersenyum ketika hati menangis, diam saat terhina, dan kita akan bertambah kuat dalam doa serta pengharapan.

Aku menyayangimu dan aku akan selalu mendoakanmu. Pesanku, jangan pernah bosan mengucap amin, karena kata itu yang mengabulkan semua ingin, dan akan selalu membuatmu aman.

Maaf, jika ada salah kata saat aku mempertahankan kita.




Jatu(h)krama



Kembali kita pada sebuah pengulangan, di mana kita pulang pada kenangan.
Pada debar masing-masing dengan rasa yang entah sama atau beda.
Kita sama-sama kehilangan, tepatnya.

Aroma hujan yang ranum dan kecipakan sepasang kaki
Menendang tanah basah, nadanya seolah memaki-maki.

Apa lagi yang harus diributkan dari kehilangan?
Selain pembunuhan sepi atas hatimu sendiri.
Apa lagi yang harus diperkarakan dari kehilangan?
Selain tubuhmu akan dikuliti sunyi perlahan-lahan

Di mana amin dari segala doa yang kita panjatkan bersama kemarin?
Hilang lenyap? dihembus orokan tidur Tuhan?
Dimana amin dari segala air mata yang pecah bersamaan kemarin?
Tekuk lututmu, jika kau sudah lagi tak tahan?

Mari menangis sekencang-kencangnya, hingga malam terdengar membahana, hingga para setan pun enggan mengganggu kita dengan nafsu senggama, membiarkan kita yang sedang bercumbu duka.

Untuk terakhir kalinya…

Duduk manis lah di pangkuanku, redam egomu, sayang.
Kita sudah kalak telak oleh kenyataan.

Kehilangan datang tiba-tiba barusan, tanpa aba-aba, tanpa undangan.
Ku saksikan dia ke sini melewati pipi yang berlumuran air mata.
Jaraknya tak lebih dari sejengkal jari kelingkingmu, terlalu dekat untuk dihindari.

Berdoa lah dan mari mengucap amin seirama, semoga kita kembali bersama di pengulangan nanti.

Biarkan nanti aku mencintaimu melebihi cinta semesta terhadapmu.
Mencintaimu sehari lebih lama dari selamanya.