Rabu, 25 Desember 2013

Memaki



Dahulu, engkau pernah berkata bahwa akulah yang terbaik. Aku terbelalak mendengarnya, ketika melihat pohon cendana yang tak berdaya terbius polosmu saat kau menoreh nama kita. Dulu.

Kini, betapa aku mencoba berlari kencang dari tarikan gravitasi mimpi, aku tak pernah mampu sekuat apapun usahaku menebar riuh mencoba menggelakan tipuan tawa, dunia terlalu naif untuk bocah laki-laki cengeng yang merasakan patah hati untuk pertama kali. Tetapi, dia mencoba lagi, dia ketagihan, dia masih terlalu lugu untuk mencandu senggama rindu, dia belum tau rasanya memendam hasrat temu. Hingga dia kapok ketika melihat perempuannya cinta mati pada lelaki lain yang orang tuanya kaya raya.

Aku tak pernah peduli, sudah berapa kali senja kulewati, hingga terakhir kali pupil mataku melihat rona merahnya pada pipi seorang gadis yang hatiku dibuatnya jatuh cinta. Tapi, Semesta tak pernah senang manusia berbahagia terlalu lama, dia curang. Gadis itu lebih menyukai makan dengan suasana romantis ketimbang warung pinggir jalan yang berisik dengan suara pengamen genit yang menggoda janda anak dua.



Ingin kutanya, apa yang kau hindari saat sendiri? Ketika kesepian menjadi teman yang paling setia menemani, sedekat urat nadi yang terhubung pada arteri.

APA YANG BISA KAMU LAKUKAN KETIKA KENYATAAN MENGHEMPASKANMU DARI KETINGGIAN? Tengkorak kepalamu retak terbentur pada harapan yang pecah seperti guci tua ringkih peninggalan seorang ayah yang meninggal akibat serangan jantung mendengar istrinya poliandri.

APA YANG BISA KAMU LAKUKAN KETIKA KEHILANGAN MENARI INDAH DI ATAS TANGISANMU? Rasanya ingin kau potong lidahnya yang meledekmu dengan menyebut nama panjang orang terkasihimu dengan nada mengejek.

Sayang, bernapas pun terasa sangat sakit ketika kulakukan sambil mengingatmu. Hingga air matamu berwarna keruh, terlalu banyak keluh dan peluh yang sudah kau ucapkan sekian puluh.

Berpegangan pada keyakinan bahwa cinta itu apa adanya? Itu pepatah busuk penuh janji-janji anjing, mengingat perempuan lebih suka diberi emas daripada seikat bunga. Dan, penjual bunga mengantungi laba atas hati orang yang terluka, akibat ditolak cintanya.

Sudah bosan kudengar lagu menye-menye tentang kehilangan cinta, bagiku sama saja. Kehilangan adalah kado dari Tuhan berupa rapor merah agar kau remedial, belajar lebih giat lagi dalam menjaga dan memiliki. Itu saja.

Nanti, saat matahari terbang tak terlalu tinggi ketika pagi. Kupatahkan sayapnya, agar ia tak pongah menghujamkan panas pada kepala-kepala robot yang mencari uang demi cinta. Retorika.

Biarkan mataku sadar dari semua angan dan ingin yang kini lebam membiru.
Biarkan aku yakin bahwa romansa paling sederhana adalah hangatnya doa.
Biarkan aku terbenam pada ujung pagi dan beredam dalam elegi.

Hingga pada suatu hari nanti, ada gadis kecil yang mengemut permen lalu mencium bibirku sambil berkata, “Rasakan manisnya cinta.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar