Rabu, 25 Desember 2013

Sepasang Bibir Terbenam

"Cup, cup, cup…", terdengar beberapa kali suara kecupan.
Asalnya dari kedua bibir yang sedang membungkam lidah jarak.
Mereka terlalu terlalu lekat, tiada lagi sekat, mereka bebas.
Udara di ruangan itu canggung, mencuri-curi pandang dari dekat.

Irama mereka mengacak, berisik, tetapi tak mengusik.
Mereka hanya mengisi cinta di dada masing-masing.
Tak perlu mencibir mereka yang bising, biarkan saja. Nikmati saja.
Biarkan mereka menikmati sementara tanpa harus pusing.

"Cup, cup, sabar lah sayang," kata dari salah satu bibir yang manyun, "hari ini, hari terakhir kita berjuang," lanjutnya pelan.

TRAAAK!!!

Ada yang retak, bukan retak, tetapi pecah, lalu runtuh. Tak lama kemudian, kedua bibir itu dibanjiri air mata. Perih.

"Cup…cup…cup…." Suara terakhir kecupan itu melemah dan berhenti, seiring dengan napas yang terpejam dengan sempurna, kecupan terakhir yang meluncur di kening, dan akhirnya dikenang.

Rindu pingsan, ia terguncang.

Bibir wanitanya menangis kencang.

Tuhan telah menang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar