Selasa, 31 Desember 2013

Beberapa Pertanyaan di Sebuah Kedai.

a man

sumber

Merindukan seseorang itu wajar, kan?

Saat menulis ini aku sedang duduk sendirian di sebuah kedai kopi di daerah Kelapa Dua, Depok. Kedai yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Ada tujuh meja berwarna merah marun yang tersedia di sini, dan dipasangkan dengan empat bangku hitam di tiap sisinya. Ada delapan orang yang sedang menikmati minuman dan obrolan hangat mengenai rencana esok hari, lima laki-laki dan tiga perempuan. Aku rasa kau sudah tahu, malam ini adalah malam pergantian tahun. Malam di mana orang berkumpul bersama keluarga, kerabat, orang-orang tersayang, atau dengan kesendirian. Aku? Aku sedang berkumpul bersama pilihan terakhir yang kusebutkan barusan. Tolong jangan tanyakan alasannya kenapa.

Aku sedang menunggu pesananku datang; segelas teh tarik dingin dan chicken steak. Sambil menunggu pesananku disediakan, aku menyalakan laptop untuk menulis cerita ini, dan mematikan telepon genggamku, sekedar memastikan konsentrasiku tidak terganggu oleh pesan yang masuk untuk menyelesaikan tulisan ini.



Aku mengerutkan kening, koneksi wifi kedai ini ada masalah sepertinya. Aku mengutak-atik setting-an wifi laptopku. Sekitar sepuluh menit aku sibuk mengecek koneksinya dan, benar saja, ada masalah. Lalu, kuputuskan untuk menghampiri kasir untuk bertanya mengenai hal ini.

“Mas, kok wifi-nya nggak bisa, ya?” tanyaku pada kasir yang sedang memperhatikan sinetron yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Sekilas, aku melihat televisi itu bermerk LG dan berukuran sekitar 31 inci, televisi itu terpasang di permukaan dinding kedai yang bercat kuning tua yang sudah sedikit kusam. Sepertinya perhatian kasir itu hanyut pada adegan sinetron yang ditayangkan oleh televisi tersebut

“Mas? Halo? Wifi-nya nggak bisa, ya?” Aku mengulangi pertanyaanku sambil memiringkan kepala ke ke kiri.

Kasir itu sedikit kaget. “Bisa kok, mas. Coba aja dikonekin lagi,” jawabnya ketus tanpa menolehkan pandangannya ke arahku. Kasir itu tampak kesal karena pertanyaanku barusan. Aku sedikit jengkel mendengar jawabannya. Tapi aku memakluminya, mungkin dia merasa bosan karena malam ini adalah malam pergantian tahun. Harusnya dia dan para pegawai lain menikmati malam ini di rumah atau di jalan bersama keluarga, bukan di tempat kerja. Tetapi, ya, demi uang untuk menyokong kehidupan. Aku mengerti akan hal itu.

Baru saja aku kembali ke tempat dudukku dan melanjutkan tulisan ini, tiba-tiba kasir yang kutanyakan barusan menghampiriku.

“Maaf mas, ternyata koneksi wifi-nya lagi gangguan dari servernya,” ucap kasir itu dengan nada ramah, sangat berbeda sekali dengan nada bicara sebelumnya.

“Oh pantesan, yaudah nggak apa-apa. Makasih ya, mas," balasku datar.

“Iya, kalo ada yang mau ditanyain lagi tanya ke saya aja ya. Maaf tadi saya lagi asik ngeliatin televisi, jadi jutek jawabnya,” kata kasir itu mengakui kesalahannya. Aku hanya mengangguk menanggapi perkataannya.

Setelah kasir itu kembali ke mejanya, aku tenggelam pada layar putih untuk memikirkan apa yang harus kutulis selanjutnya. Tidak sadar, sudah satu jam terlewati. Sudah pukul delapan malam. Aku mengalihkan pandanganku dari layar laptop ke keadaan sekitar. Tinggal tiga orang pengunjung yang tersisa. Di samping kiriku, ada seorang pria berjaket hitam sedang menyeruput pelan segelas susu dingin sambil sesekali menyesap nikmat rokok kretek yang tersemat di antara jari-jari tangannya dengan posisi duduk mengangkat kaki kananya ke bangku. Aku menatap pria itu dengan tatapan lucu. Bisa-bisanya dia duduk seperti duduk di warung tegal. Di arah depan mejaku, ada sepasang kekasih yang sedang berpacaran. Mereka berdua sedang sibuk dengan ipad yang mereka mainkan. Si lelaki tampak memainkan jari telunjuk kanannya di layar ipad, sedangkan si perempuannya bersandar di pundak laki-lakinya sambil memperhatikan layar dengan tatapan serius. Rasanya ingin kuusir mereka berdua, tapi aku mengurungkan niatku, karena sepertinya mereka sedang menikmati keadaan.

Aku sendiri sedang menikmati teh tarik yang baru saja diantar oleh salah satu pelayan kedai kopi ini. Punggungku kusandarkan pada dinding. Suasana di kedai ini agak bising dengan suara kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan seberang kedai. Tapi itu bukan masalah besar pikirku, karena aku menyumpal kedua telingaku dengan headset yang sudah kucolok ke laptop, lalu memutar beberapa playlist lagu yang biasa kudengarkan di kantor.

Kemudian, lagu All Time Low – Remembering Sunday mengalun sendu telingaku.

Forgive me, I'm trying to find
My calling, I'm calling at night
I don't mean to be a bother, but have you seen this girl?
She's been running through my dreams
And it's driving me crazy, it seems
I'm gonna ask her to marry me


 

Alexander Gaskarth –vokalis All Time Low- sedang mennyanyikan bagian lirik lagu di atas. Pikiranku menerawang pada nama seorang gadis yang sedang rajin-rajinnya menghinggapi kepalaku akhir-akhir ini. Entah, sepertinya lebih baik tidak kubeberkan namanya di sini. Yang jelas, aku belum pernah bertemu dengan perempuan ini, tetapi aku sangat merindukan kabar darinya.

Mengapa? Aneh ya? Menurutku tidak. Jika kau bertanya alasannya, baiklah, aku akan memulai ceritanya dari sini...

Dua bulan lalu.

Saat itu pukul empat sore, aku sudah menyelesaikan beberapa artikel yang diberikan editor. Aku bergegas pergi ke dapur untuk menyeduh teh untuk sejenak membuat rileks pikiran. Aku hanya membutuhkan waktu sepuluh detik untuk melangkahkan kaki dari meja kerjaku ke dapur. Setelah membuat teh, aku berbalik ke meja kerjaku dan duduk bersila di atas kursi busa berwarna hitam. Perhatianku kini terfokus pada linimasa Twitter.

Jujur saja, aku sedang melihat linimasa seseorang – gadis yang tak kusebutkan namanya itu- dengan cermat. Keningku mengerut. Nihil. Gadis itu belum nge-tweet lagi dalam seminggu ini. Dan, last seen WhatsApp-nya pun sudah tiga hari tidak menunjukkan aktivitas. Sialnya, Blackberry-ku tidak memiliki aplikasi Path, supaya bisa sering-sering mengintip kegiatannya sehar-hari. Aku mulai merasa tidak tenang. Sebenarnya, dia bukan siapa-siapa, dan aku pun bukan siapa-siapanya gadis itu. Hanya saja aku merasa nyaman setiap kali berbincang-bincang mengenai keseharian kami. Mulai dari bangun dari tidur hingga ingin tidur lagi. Aku merasa senang diperhatikan olehnya, meski dalam hal-hal remeh. Sudah lama aku tidak merasakan senangnya bertukar kabar secara intensif dengan seorang gadis yang kusuka. Ups... yasudahlah, sudah terlanjur kuakui.

Ya, aku menyukai gadis itu – meskipun belum bertemu. Baiklah, kau pasti akan bertanya mengapa kami belum pernah bertemu kan? Jelas, jarak dari rumahku ke rumahnya sudah berbeda provinsi, Jawa Barat dan Jawa Timur. Maaf sekali lagi, aku tak ingin menyebut nama kotanya, kurasa biar beberapa teman dekatku saja yang tahu kota gadis tempat gadis itu tinggal.

Bagaimana rasanya, oh ralat, maksudnya, pernahkah kau merindukan seseorang yang belum pernah kau temui sebelumnya? Jika kau bertanya padaku rasanya? Akan kujawab singkat saja. Gelisah.

Kami berkenalan seperti halnya orang-orang yang berkenalan di dunia maya, sepertinya tak usah kujelaskan perinciannya bagaimana, ya.

Gadis itu berambut hitam sepundak, berhidung mancung, dan berpipi tirus. Bibirnya tipis, matanya bulat, dan kulitnya bulat. Yang aku sukai dari dirinya sudah pasti senyumnya. Ya, kuakui aku lemah pada gadis yang bersenyum manis. Tapi, tidak semua gadis mempunyai senyum yang manis. Begitulah. Terserah kau menyetujui atau tidak, itu bukan masalah bagiku.

Sebenarnya aku mempunyai keinginan untuk mengenal lebih dekat dengan dirinya, lebih dekat. Hanya saja jarak yang tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Mungkin jika jarak kami tidak terlalu jauh, aku pasti melakukan pendekatan-pendekatan selayaknya orang yang ingin mengenal lawan jenis lebih jauh. Tapi sayangnya, sekali lagi, jarak selalu menjadi penghalang setiap orang yang ingin memperjuangkan rasa.

Selama hampir tiga bulan ini, aku ingin sekali mengunjungi kotanya jika ada kesempatan waktu libur dan tabungan yang cukup. Aku ingin sekali menemui dirinya. Menikmati senyumnya dan menatap dalam-dalam matanya. Oke, kurasa ini terbaca terlalu berlebihan. Ya, singkatnya aku ingin bertemu dan mengobrol langsung dengannya.

Ada satu hal yang kukhawatirkan di antara jarak yang membentang jauh, yaitu, kami pun menjadi jauh seperti yang mulai terjadi saat ini. Meski ini baru kekhawatiranku saja.

Dan, ya..., sampai es teh tarikku kini tinggal tersisa setengah, dan pengunjung kedai kopi ini mulai meramai lagi seiring jalan yang mulai dipadati oleh orang-orang yang menikmati malam pergantian tahun. Aku masih memikirkan gadis itu.

She's been running through my dreams
And it's driving me crazy, it seems
I'm gonna ask her to marry me


I'm gonna ask her to marry me

Aku ingin bertemu dengannya, suatu hari.

Dan, ada beberapa pertanyaan yang berkelebat di selasar-selasar pikiranku.

Sedang apa dia di sana? Apakah dia sedang tertawa? Atau bersedih? Atau dia sedang berkumpul dengan keluarganya? Atau temannya? Atau sahabatnya? Atau dengan seseorang yang sedang dekatnya? Atau..., dengan kekasinya?


 

Entahlah, tak usah terlalu memikirkan pertanyaanku, aku hanya bertanya pada diriku sendiri, dan semoga jawabannya bukan berasal dari dua pertanyaan terakhir.

 

Semoga gadis itu selalu ingat pesanku untuk selalu tersenyum meskipun tidak kuingatkan. Semoga semesta mengizinkan aku bertemu dengannya di suatu hari. Dan, semoga dia merindukanku juga.

Ah, aku benar-benar terlalu berlebihan sepertinya.


Oh iya, selamat merayakan malam pergantian tahun. Nyalakan kembang apinya, tiup dengan kencang terompetnya, dan tertawalah! Nikmati kebahagiaan malam ini dengan senyum yang paling lebar. Jangan lupa, ucapkan banyak amin untuk setiap doa dan pengharapan yang kau ucap untuk esok hari.

 

Kau, ya, kau, gadis itu. Jika kau membaca tulisan ini, jangan marah, ya. :p

3 komentar:

  1. ahahah kenapa cerita lo sama kayak gue bang! merindukan seseorang yang belum pernah kau temui....

    BalasHapus
  2. Kulit bulat itu artinya apa ka?

    BalasHapus