Rabu, 25 Desember 2013

Sebuah Percakapan Mengenai Jarak

image

Banyak yang takut kalah dengan jarak, dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Ponsel gue bergetar. Ada panggilan masuk. Saat gue liat nama sang penelpon senyum gue mengembang dengan penuh sukacita.

"Halo, tumben kamu nelpon aku jam segini. Kangen ya? Hehehe." Gue langsung  nyerocos kepada lawan bicara dengan semringah.

"Jangan ditanya! Kangen bangeeeet lah sama kamu. Udah empat bulan kita belum ketemu lagi," ucap seorang gadis di seberang sana. Gue kangen banget sama suaranya. Karena cuma dalam waktu tertentu gue bisa ngobrol panjang lebar sama dia. Dan panggilan dari dia kali ini benar-benar nggak gue duga.

"Iya, udah empat bulan. Kamu gimana kabarnya? Masih sibuk banget ya? Sampai baru telepon aku lagi sebulan terakhir ini."

"Aku baik-baik kok. Kamu juga kan? Ah kamu mah pasti masih sering begadang deh. Sebel," gerutunya. Gue demen nih kalo udah begini, ngebayangin dia cemberut. Ngebayangin pipinya yang tembem itu mengembang. Kalo dekat pasti gue gue cubit.

Tiba-tiba hening sebentar.



"Len… Maafin aku. Aku rasa kita udah nggak bisa bersama lagi. Ini udah batas kemampuan aku ngejalanin hubungan ini. Maaf." Tiba-tiba dia membuka pembicaraan yang lagi-lagi gak pernah gue bayangin selama ini. Suaranya terdengar pelan. Lirih. Perasaan gue hancur seketika, bahkan sebelum terdengar suara isak tangis yang samar-samar mulai terdengar. Kepala gue menengadah ke atas, memperhatikan langit gelap. Seperti prediksi kehidupan gue yang akan menjadi hitam setelah percakapan ini berakhir.

"Kamu kenapa? Tapi, aku rasa kita bisa ketemu nanti ngomongin ini saat kita ketemu, kita kan udah janji bakal ngelaluin semua ini bareng-bareng. Kamu gak mau nunggu aku sebentar lagi? Aku mau kamu sa—"

"Itu dia masalahnya! Aku udah nunggu terlalu lama. Aku gak bisa kayak gini terus, jujur aku gak tahan dan udah gak bisa sabar. Ini udah batas kesabaran aku." Suara tangisnya pun pecah. Gue hampir jatuh karena kaki gue terasa lemas banget. Kekuatan sendi-sendi kaki gue rasanya hilang seketika. Gue diam, mengumpulkan kekuatan untuk tetap ngedengerin lanjutan kalimat demi kalimat yang makin bikin gue pengin terbang ke sana dan meluk dia.

"Maaf, maaf, maaf, Len. Aku gak bisa bertahan. Aku udah benar-benar gak kuat. Maaf," lanjutnya sambil nangis, "Aku rasa kita cukup sampai di sini. Aku gak pengin nyakitin kamu lebih lama lagi. Aku juga gak pengin nyakitin diri aku sendiri. Ini terlalu berat untuk kita berdua."

Tapi, Tuhan, tolong…

"Oke, kalo menurut kamu ini jalan yang terbaik buat kita. Semoga kamu selalu baik-baik ya di sana. Semoga kamu selalu bahagia. Jaga diri kamu, jangan nakal," kata gue sok tegar dengan sangat lirih. Gue udah pasrah. Nggak ada jawaban yang lebih baik untuk dijadikan solusi.

"Kita masih tetap bisa komunikasi, kan? Kita masih tetap bisa temenan kayak dulu lagi. Kita bisa—"

"CUKUP!" Gue memotong ucapan dia, "kata-kata yang kamu ucapin gak akan bisa menjamin kita bakal kayak gimana nanti. Semua yang kamu ucapin itu cuma kalimat penghibur. Faktanya, kita. Udahan kan? Kita berakhir kan?" Gue mengusap muka. Nggak peduli lagi air mata membasahi pipi gue.

"Tolong, Len. Maafin aku,… Aku juga gak mau, tapi ini yang terbaik buat kita." Isakan dia terdengar makin kencang. Kali ini gue yang gak tahan.

Gue paling gak kuat dengar, menyaksikan, apalagi membuat cewek nangis. Terlebih dia adalah...

"Kalo kamu gak mau, kamu gak akan nelpon aku dan minta kita ngakhirin ini. Aku cuma pengin kamu bertahan sebentar lagi. Tapi? Apa kamu nelepon aku cuma pengin mengatakan ini kan? Satu hal yang aku pengin kamu tau. Aku udah mesen tiket pesawat. Aku udah nentuin tanggal untuk ketemu kamu. Aku udah siapin semuanya. Tapi, kamu minta kita udahan sekarang…," jelas gue menahan emosi yang udah meledak. Gue gak pernah bisa marah sama cewek yang bikin gue selalu senyum setiap kalo liat lesung pipitnya.

"Maaf, aku gak bisa nepatin janji kita. Salam buat Mama…," ucap dia masih dengan terisak.

Alright I will do, thanks for everything. I love you.

"I love you too, Fal..."

Tuut…Tuutt…Tuutt….

You know you can’t give me what I need
And even though you mean so much to me
I can wait through everything
Is this really happening?
I swear I’ll never be happy again
And don’t you dare say we can just be friends
I’m not some boy that you can sway
We knew it’d happen eventually

Lirik dari lagu If It Means A Lot To You - A Day To Remember tiba-tiba melintas di pikiran gue.

Is this really happening?

Ya, ini benar-benar terjadi.

I swear I’ll never be happy again

Ya, kita gak akan pernah bisa bahagia, bahkan hanya untuk sekedar tersenyum.

And don’t you dare say we can just be friends

Yeah, we don’t.

We knew it’d happen eventually.

Pada malam itu, percakapan terakhir gue bersama mantan gue empat tahun lalu. Gue gak pernah lagi berkomunikasi dengan dia semenjak gue memutuskan sambungan telepon. Bukan. Bukan karena gue gak pengin lagi temenan atau tetap menjalin silaturahmi. Tapi, gue rasa melakukan semua itu percuma. Itu semua cuma bikin gue semakin sayang dan semakin sakit. Semakin nyakitin gue dan dia. Gue gak mau melakukan sesuatu yang gue tau nantinya cuma akan bikin hidup gue dan dia semakin terpuruk. Ini jalan terbaik menurut gue. Meski sepihak dan dia terlihat jahat.

Bahkan kalo suatu hari kita ketemu lagi, gue nggak menjamin bakal kuat menatap wajah dia.

Sengaja gue gak menyebutkan namanya, karena itu akan memanggil kembali luka lama. Luka yang bikin gue trauma dengan hubungan yang seringkali berakhir drama. Ya, Long Distance Relationship

Hubungan yang bikin gue gak pernah lagi percaya sama yang namanya jarak. Hubungan yang bikin gue gak pernah lagi mau jatuh cinta dengan seseorang yang suaranya cuma bisa gue dengar. Hubungan yang hanya bertatap muka lewat layar kaca, tapi gak bisa gue sentuh raganya. Hubungan yang menjanjikan ‘kita akan tetap baik-baik aja kok, meski jarang ketemu.’ Kenyataanya?

Klise.

Gue tertunduk lesu di teras rumah sambil menyandarkan tubuh gue yang lemas di tembok garasi. Badan gue menatap nanar layar handphone yang sedikit basah karena keringat dingin dan mata gue. Inilah saat ketika pria menangis. Sisi lemah mereka muncul di saat-saat seperti ini.

Dari dalam rumah terdengar alunan lagu Wish You Were Here-nya Avril Lavigne. Gue menengok ke arah jendela. Sialan. Pasti adek gue yang dengerin lagu itu.

"KENAPA LAGU ITU YANG DIPUTER, NYET!!!," teriak gue geram, tapi langsung diam dan menutup mulut. Gak mau nyokap bikin gue mukul gue pake sapu lidi atau dilempar cobek bekas tadi siang nyokap nyambel karena gue teriak kenceng. Gue inget tetangga sebelah rumah baru lahiran dua hari yang lalu..

Kedua bola mata gue menatap layar handphone lagi untuk kedua kalinya. Pikiran gue melayang. Gue pusing dengan pikiran yang berkecamuk. Kenapa hal yang sangat buruk ini terjadi saat gue lagi pengin banget ketemu dia. Kenapa?

Jempol gue otomatis membuka folder galeri memory card. Mencari-cari beberapa foto gue dan dia. Otak kanan gue udah bentak-bentak memberi perintah untuk segera ngehapusin semua foto itu. Tapi, gue belum sampai hati melakukannya.

Gue teringat saat-saat dulu bertingkah gila. Ngajak dia kenalan lewat surat. Cara yang klasik dan picisan. Nembak dia dengan ngebisikin “Aku sayang kamu” di telinganya dan dia belagak budeg. Ngajak dia dangdutan ketika niat pengin nonton film batal karena kejebak macet. Ngenalin dia ke nyokap saat dia lagi PMS. Masakin dia makanan dan hasilnya keasinan, sampai dia nyengir-nyengir makannya.

AH! Kenapa ketika semua ini berakhir dan pikiran gue pengin berhenti memikirkan segala tentang dia —tentang kita tepatnya—, tapi hati gue bersikeras menolak?

Gue berhenti sejenak. Kali ini jempol gue mencari rentetan nomer orang yang barusan menelpon gue.

Delete contact? YES/NO


Gue bepikir sejenak, membiarkan logika melawan hati gue…

Contact was deleted.

Picture was deleted

"Maafin gue, ya. Ini demi kita, kan?" Gue ngomong sendiri sambil tersenyum lirih.

Masih ada dua foto yang gue sisain, dan gue simpan di dalam tumpukan-tumpukan folder galeri supaya gak sengaja terlihat saat gue buka galeri.

Foto saat dia pertama kali ngasih gue foto buat gue buatin sketsa wajahnya —yang hasilnya malah gak jelas. Dan, foto saat gue sama dia cium pipi gue di atas bianglala di sebuah pasar malam.

Gue melihat sekilas foto yang dia kasih pertama kali. Lalu mengecup lembut. Ini untuk nostalgia.

Semoga kamu bahagia di sana, semoga kita menemukan kebahagiaan baru masing-masing. Semoga kita menjadi lebih baik lagi setelah semua ini.

Gue tersenyum singkat. Ini pasti akan berjalan lambat. Gue harus memaksakan hati untuk sembuh. Memaksa hati untuk merelakan dua tahun kebersamaan gue dan dia. Memaksa hati untuk melupakan kenangan gue dan dia ketika menulis wish list yang beberapanya udah tercapai.

Memaksa hati gue untuk ikhlas mengakhiri dan melewati semua ini. Sendiri.

Kemudian gue menyeka pipi gue, sampai benar-benar kering dan gak ada sisa-sisa keringet lagi. Gue terpejam sekilas dan menenangkan deru nafas gue yang masih belum beraturan.

Gue gak mau pas masuk rumah ditanya-tanya sama nyokap, atau malah dicengin sambil ditoyor pake cobek yang bau terasi. Gue melangkah masuk ke rumah. Ketika pintu terbuka, gue nongolin kepala sekedar mastiin nyokap gue gak ada. Saat nyokap nengok, gue langsung cengar-cengir. Dan, nyokap memandang aneh ke arah gue.

"Sakit lu ya?" celetuk nyokap dengan polosnya.

Gue nyelonong masuk ke kamar dan langsung menutup pintu.

Iya sakit hati, jawab gue dalam hati.

image

11 komentar:

  1. Ini based on true story ka ? Sedih banget sih :'(

    BalasHapus
  2. Ka falen nangis kaya gimana ya?

    BalasHapus
  3. Sedih bacanya, karena gue juga pernah ngalamin itu. Sakit -_- Tapi ceritanya kurang greget kaa coba dikasih kisah bahagia nya :D

    BalasHapus
  4. Nanti inshaa Allah ditulis ulang lagi. Makasih ya sarannya. :)

    BalasHapus
  5. Kisah yang membuat gue terhanyut. Tulisan pengalaman itu punya nyawa tersendiri. Terus buat cerita seperti ini, Len. Atau bisa lebih bagus lagi :)

    BalasHapus
  6. Nanti inshaa Allah gue tulis ulang yang lebih detail dan bagus. Thank you, bro. :)

    BalasHapus
  7. faleeeennnn :') hahahaha

    BalasHapus
  8. Kak, gue takut suatu saat hubungan gue bakal kyk gni:'( solusinya apa? T_T

    BalasHapus
  9. Percaya aja hubungan kalian bakal baik-baik aja. ~

    BalasHapus
  10. Always positive thinking kok. Cuma takut aja kak :'(

    BalasHapus