Rabu, 25 Desember 2013

Bulir Desember

Kupautkan langkah dengan tergesa-gesa, aku sedang dikejar air mata bulan Desember.
Bulir-bulirnya meninju kepalaku yang isinya hanya kenangan tragis.
Sekali lagi aku melangkah, semakin kencang kudengar Desember menangis.
Petir bersahut-sahutan melolong, mengagetkan tukang jamu dengan bengis, segelas intirsari tumpah dengan cara yang manis.

"Aku sebenarnya melankolis," kata Desember kepada embun yang bertengger di bangunan tua, "ceria hanyalah topeng luguku saja." Lanjutnya sambil meringkuk di pojok rumahnya; kalender lecek.

Ia menanak cemas karena menjadi tahanan waktu, ia hampir mampus tergerus, sebab bagian tubuhnya satu persatu disobek harapan manusia yang tampangnya selalu merengus malayuri harapan yang tak tembus-tembus.

Aku prihatin menengok dirinya di kalender yang tahun depan menjadi adonan terompet tahun baru. Kuperhatikan jejeran sisa hari bulan Desember, aku menyentuh angka tiga puluh satu, tiba-tiba Desember menangis kencang, ia berkata, “Semoga tahun depan aku tidak secengeng ini.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar