Rabu, 15 Januari 2014

Secangkir Kopi Hitam

Fotor01153291

sumber

Adakah yang lebih pahit dari rasa kopi hitam?

"Ini mas, silahkan dinikmati kopinya," ucap seorang barista yang menaruh secangkir kopi hitam pesananku ke meja berwarna oranye tempat kedua tanganku direbahkan sambil tersenyum ramah ke arahku.

"Iya, terima kasih mas," balasku singkat.



Setelah barista itu kembali ke dapur aku melihat ke arah jam Christ Verra berwarna emas yang mengikat lengan kiriku. Jam tangan pemberian salah satu teman kantorku yang kini sudah menjadi penulis senior. Jarum jam tipisnya menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Ya, pagi buta ini aku sedang duduk di sebuah kedai kopi yang pernah kuceritakan sebelumnya.

Telingaku tersumpal earphone yang sedang menyanyikan lagu Mew - Comforting Sounds yang diputar dari playlist laptop Acer seri Aspire 4736G-ku yang setia menemaniku sejak kelas dua SMA hingga kini kuliah semester lima. Kau boleh menganggap aku orang yang sangat kurang kerjaan, jam segini bukannya tertidur lelap dan menyakiskan mimpi, tetapi malah duduk di sebuah kedai kopi yang sepi.

Abaikan paragraf sebelumnya, karena mataku sekarang tertuju pada secangkir kopi yang barusan kupesan. Aku melihat cairan hitam itu menggenang angkuh dirangkul cangkir berwarna putih gading yang menduduki piring kecil berwarna senada. Asapnya mengepul dan menari-nari di udara seakan menggoda lidahku untuk segera mengecapnya. Bodohnya aku tergoda.

Srupp...

BRENGSEK!

"HUAAAH!" Aku refleks langsung menyemburkan kopi yang menyiksa lidahku. Rasanya seperti ditempeli setrika sekaligus mengunyah buah mengkudu. Panas bercampur pahit. Bodohnya lagi aku teringat bahwa kopi ini sedang panas-panasnya dan belum kutaburi gula sama sekali.

Gulanya sendiri masih teronggok di gelas kecil berwarna bening yang berjarak hanya lima senti dari cangkir kopi. Untungnya pengunjung kedai kopi ini sepi, hanya ada empat orang yang duduk berjauhan dari posisiku sekarang. Dan perhatian mereka sibuk dengan pikiran dan handphone-nya masing-masing, sehingga tidak menyaksikan kejadian bodoh barusan.

Syukurlah, aku langsung mengambil dua lembar tisu yang tersaji pada kotak krem persegi yang berdiri di tengah-tengah mejaku, dan mengelap beberapa cairan kopi yang terpental dari mulutku sehingga membuat genangan kecil di beberapa sudut meja di sekitar cangkir kopi.

Kembali pada cangkir kopi yang menjadi tersangka akibat kejadian bodoh yang kulakukan barusan. Aku masih sangat jelas merasakan rasa pahitnya.

Ya, pahit. Sangat pahit.

Mengingatkanku pada rasa pahit kehilanganmu dulu. Kombinasi rasa pahit kopi dan pahit kehilanganmu benar-benar menimbulkan nyeri di lidah dan hatiku kini.

Aku memutuskan menyudahi cerita ini, karena..., aku sedang menikmati lagu yang masih mengalun di telingaku sambil melihat ke arah aspal jalan Kelapa Dua yang sepanjang jalannya dibasahi gerimis, sehingga memantulkan sinar lampu jalan dan memberikan pemandangan yang temaram. Romantis sekali rasanya jika saja kau berjalan beriringan denganku sekarang, dan kita saling menutupi kepala masing-masing dengan kedua telapak tangan. Dan itu memang khayalanku saja. Hahaha.

Kini aku menikmati pemandangan jalan sambil menikmati rindu-rindu yang baru saja datang bertamu ke dalam dadaku lewat rasa pahit kopi jahanam yang sekarang mengecap jelas di lidahku. Nyeri.

"Mas, pesen es teh tarik blend-nya ya satu ya."

"Loh kopinya enggak diminum mas?"

"Enggak, lidah saya kepanasan ini. Hehehe."

"Lha? Oke, tunggu sebentar ya."

Maaf kopi hitam, aku terpaksa tidak menikmati rasamu untuk kali ini. Habisnya, kamu terlalu nyebelin sih.

Oh iya, selamat pagi kamu yang sedang bermimpi, maaf aku merindukanmu lagi untuk yang kesekian kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar